Pewarisan
Anak Dalam Kandungan
Pendahuluan
Islam bagi
umatnya bukan hanya mengandung ajaran tentang keimanan dan apa-apa yang harus
dilakukan untuk Khaliq (Pencipta)
dalam rangka pelaksanaan ibadah, namun juga mengatur aturan tentang
pergaulan mereka dalam kehidupan di dunia yang disebut mu’amalat dalam artian
umum, termasuk aturan tentang pembagian warisan atau ilmu faraid. Aturan-aturan
yang ditetapkan Allah dimana ilmu faraid termasuk di dalamnya, diturunkan Allah
untuk menjadi rahmat bagi umat manusia. Rahmat ini dalam bahasa hukum berarti
“kemaslahatan ummat” baik dalam bentuk memberi manfaat bagi manusia atau
menghindarkannya dari mudharat (bahaya). Sehingga dengan adanya aturan Allah
tersebut seseorang yang berhak menerima warisan kepadanya harus diberikan
haknya sesuai dengan kadarnya masing-masing.
Salah satu
ahli waris yang berhak menerima warisan
adalah anak. Anak baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris,
bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Namun yang menjadi
pertanyaan apakah anak dalam kandungan termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan atau tidak. Bagaimana Fiqh Islam menempatkan posisi anak dalam kandungan sebagai ahli waris. Lalu bagaimana
seharusnya Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang mempunyai tanggungjawab menyelesaikan perkara kewarisan umat Islam, memperhatikan haknya anak dalam
kandungan atau justru mengabaikan. Pertanyaan itulah yang Penulis cuba untuk
menjawabnya dalam tulisan yang singkat ini.
Hak
kewarisan anak dalam kandungan menurut Fiqh Islam.
Untuk
melihat apakah anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak menurut fiqh
Islam yang perlu kita rujuk pertama adalah Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber
utama syari’ah Islam. Dalam Al Qur’an Surat Annisa’ ayat 11 disebutkan : “Allah
mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian warisan) untuk anak-anakmu : bagian
seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan”. Dalam ayat ini Allah hanya menjelaskan tentang
perbandingan bagian anak laki-laki dan
perempuan dalam warisan orang tuanya.
Tidak dijelaskan apakah anak yang dimaksud adalah anak yang sudah lahir
atau anak yang masih dalam kandungan. Oleh sebab itu jawaban dari pertanyaan
berhakkah anak yang masih dalam kandungan ibunya terhadap harta warisan atau
tidak, belum kita temukan jawaban pasti dari Al Qur’an, karenanya pemahaman
“anak” jika dalam Al Qur’an dikaitkan dengan kelahirannya sebagai ahli waris
masih bersifat zhanny sehingga bisa ditafsirkan dan dikaji lebih lanjut.
Ketika kita
rujuk Hadits-Hadits Rasulullah tentang anak dalam kandungan sebagai ahli waris
atau tidak, kita hanya menemukan sepotong hadits yang bersumber dari Jabir r.a
diriwayatkan oleh Abu Daud : “ Izastahallal mauluudu warrasa” apabila telah
berteriak (bersuara) anak yang dilahirkan maka ia adalah ahli waris.
Dalam memahami hadits ini ada dua pendapat ulama. Sebagian ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Said Ibn Al Musayyab, Syureih Ibn Hasan dan Ibn Sirin dari kalangan shabat berpendapat bahwa bukti kehidupan bayi yang lahir adalah “istihlal” atau teriakan sesuai dengan zahir hadits. Golongan ulama kedua yang terdiri dari Al Tsauri, Al Auza’i, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Al Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan itu dapat diketahui dengan teriakan dan juga dengan cara lain seperti gerakan tubuh, menyusui dan petunjuk lain yang meyakinkan.[1]
Dari
perbahasan para ulama di atas terhadap hadits dari Jabir itu, jika kita teliti
dengan seksama mereka tidak mempertanyakan apakah anak dalam kandungan sebagai
ahli waris atau tidak, tetapi hanya mempermasalahkan teknis menentukan hidup
atau tidaknya anak. Golongan pertama dengan teriakan ketika lahir, golongan
kedua bisa dengan tanda lain seperti bergerak, menyusui dan petunjuk lain.
Penentuan hidup atau tidaknya anak
memang sangat penting karena
sebagai ahli waris harus diyakini dia hidup ketika pewaris meninggal. Dengan
demikian kedudukan anak dalam kandungan adalah ahli waris telah
disepakati para ulama.
Hal ini
dapat kita pahami dari informasi yang disampaikan Dr. Badran Abu Inain Badran :
“Faqad ajm‟a fuqahaausy syari‟ati „ala annal walada fi bathni ummihi mim bainil
mustahiqqiina lil irtsi mata qaama bihi sababun min asbaabil irtsi” (Telah
sepakat para ulama bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya termasuk orang
yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat salah satu sebab dari-sebab
kewarisan)[2]
Begitu juga Wahbah Zuhaili menjelaskan :
“walau kaana hiinaizin mudhgatan aw „alaqatan tsabata lahul haqqu fil miiraatsi
(Jika ahli waris masih dalam bentuk mudhghah(segumpal daging) atau alaqah
(segumpal darah) maka hak kewarisannya tetap ada).[3]
Perlu diketahui, anak dalam kandungan sebagai ahli waris disebut juga dalam ilmu ushul fiqh ahliyatul wujub yang tidak sempurna, ia pantas menerima hak namun belum mampu memenuhi kewajiban[4]
Oleh karena
anak dalam kandungan itu dinyatakan orang yang pantas menerima hak, maka ia
ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris
bila padanya terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Rukun Kewarisan adalah
pewaris, ahli waris, harta warisan, sedangkan syarat kewarisan adalah meninggalnya pewaris, hidupnya ahli
waris ketika pewaris meninggal, dan tidak terdapat penghalang kewarisan (sep.
membunuh pewaris, murtad dan budak).
Terhadap anak dalam kandungan sebagai ahli waris terdapat dua keraguan dalam tekhnis pembagian hak warisannya yaitu maujud (ada)-nya dan hidupnya dia ketika pewaris meninggal ditambah kesamaran kondisi anak dalam kandungan apakah laki-laki atau perempuan, tunggal atau kembar. Oleh karena keraguan itu, para ulama klasik memelihara hak anak dalam kandungan itu dengan memauqufkan (menunda) pembagian harta warisan sampai anak itu lahir atau membagi kepada ahli waris lain dengan memberikan kemungkinan asumsi jumlah terbesar yang diterima anak dalam kandungan itu.
Dari huraian di atas Penulis berkesimpulan bahawa dalam fiqh Islam anak dalam kandungan adalah ahli waris.
Kesimpulan
Bahawa
dalam Fiqh Islam anak dalam kandungan
adalah ahli waris yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat
sebab-sebab kewarisan (perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak).Bahwa
demi kepentingan anak dan keadilan masyarakat, jalan sebaiknya yang ditempuh
Pengadilan Agama (hakim) adalah : segera menyelesaikan perkara pembagian harta
warisan dengan memperhitungkan hak waris anak dalam kandungan, jika ada perkara
pembagian warisan yang kemungkinan ahli warisnya anak dalam kandungan. Jika ada
masalah dengan kesamaran tentang kondisi anak, pendapat saksi ahli (dokter
kandungan) dapat didengar dan diajadikan pertimbangan.
[1]
Ibnu Qudamah, Al Mughni, (Mathba’ah al Qahirah, Mesir, 1969) h. 384-385. Lihat
Juga Ibnu Hazm, Al Muhalla, (Mathba’ah al Jumhuriyyah, Mesir, 1970) h. 410
[2]
Badran Abu Inain Badran, Al Mawarits wal Washiyat wal Hibah fi Syariatil
Islamiyah wal Qanun, (Syabab Al amiah, Iskandariyah, tt) h. 89
[3] Wahbah
Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillatuh, (Dar Fikr, Mesir tt) h. 254
[4]
Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam
Pelaksanaan Faraid, (IAIN-IB Press, Padang, 1999, h.1
No comments:
Post a Comment