Followers

Friday 27 July 2012

PEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN


Pewarisan Anak Dalam Kandungan

Pendahuluan

Islam bagi umatnya bukan hanya mengandung ajaran tentang keimanan dan apa-apa yang harus dilakukan untuk  Khaliq  (Pencipta)  dalam rangka pelaksanaan ibadah, namun juga mengatur aturan tentang pergaulan mereka dalam kehidupan di dunia yang disebut mu’amalat dalam artian umum, termasuk aturan tentang pembagian warisan atau ilmu faraid. Aturan-aturan yang ditetapkan Allah dimana ilmu faraid termasuk di dalamnya, diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi umat manusia. Rahmat ini dalam bahasa hukum berarti “kemaslahatan ummat” baik dalam bentuk memberi manfaat bagi manusia atau menghindarkannya dari mudharat (bahaya). Sehingga dengan adanya aturan Allah tersebut seseorang yang berhak menerima warisan kepadanya harus diberikan haknya sesuai dengan kadarnya masing-masing.

Salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan  adalah anak. Anak baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris, bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Namun yang menjadi pertanyaan apakah anak dalam kandungan termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. Bagaimana Fiqh Islam menempatkan posisi anak dalam kandungan sebagai ahli waris. Lalu bagaimana seharusnya Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang mempunyai tanggungjawab menyelesaikan perkara kewarisan umat Islam, memperhatikan haknya anak dalam kandungan atau justru mengabaikan. Pertanyaan itulah yang Penulis cuba untuk menjawabnya dalam tulisan yang singkat ini.

Hak kewarisan anak dalam kandungan menurut Fiqh Islam.
Untuk melihat apakah anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak menurut fiqh Islam yang perlu kita rujuk pertama adalah Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama syari’ah Islam. Dalam Al Qur’an Surat Annisa’ ayat 11 disebutkan : “Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian warisan) untuk anak-anakmu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan  bagian dua anak perempuan”. Dalam ayat ini Allah hanya menjelaskan tentang perbandingan bagian anak  laki-laki dan perempuan dalam warisan orang tuanya.  Tidak dijelaskan apakah anak yang dimaksud adalah anak yang sudah lahir atau anak yang masih dalam kandungan. Oleh sebab itu jawaban dari pertanyaan berhakkah anak yang masih dalam kandungan ibunya terhadap harta warisan atau tidak, belum kita temukan jawaban pasti dari Al Qur’an, karenanya pemahaman “anak” jika dalam Al Qur’an dikaitkan dengan kelahirannya sebagai ahli waris masih bersifat zhanny sehingga bisa ditafsirkan dan dikaji lebih lanjut.

Ketika kita rujuk Hadits-Hadits Rasulullah tentang anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak, kita hanya menemukan sepotong hadits yang bersumber dari Jabir r.a diriwayatkan oleh Abu Daud : “ Izastahallal mauluudu warrasa” apabila telah berteriak (bersuara) anak yang dilahirkan maka ia adalah ahli waris.


Dalam memahami hadits ini ada dua pendapat ulama.  Sebagian ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Said Ibn Al Musayyab, Syureih Ibn Hasan dan Ibn Sirin dari kalangan shabat berpendapat bahwa bukti kehidupan bayi yang lahir adalah “istihlal” atau teriakan sesuai dengan zahir hadits. Golongan ulama kedua yang terdiri dari Al Tsauri, Al Auza’i, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Al Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan itu dapat diketahui dengan teriakan dan juga dengan cara lain seperti gerakan tubuh, menyusui dan petunjuk lain yang meyakinkan.[1]

Dari perbahasan para ulama di atas terhadap hadits dari Jabir itu, jika kita teliti dengan seksama mereka tidak mempertanyakan apakah anak dalam kandungan sebagai ahli waris atau tidak, tetapi hanya mempermasalahkan teknis menentukan hidup atau tidaknya anak. Golongan pertama dengan teriakan ketika lahir, golongan kedua bisa dengan tanda lain seperti bergerak, menyusui dan petunjuk lain. Penentuan hidup atau tidaknya anak  memang  sangat penting karena sebagai ahli waris harus diyakini dia hidup ketika pewaris meninggal. Dengan demikian  kedudukan  anak dalam kandungan adalah ahli waris telah disepakati para ulama.

Hal ini dapat kita pahami dari informasi yang disampaikan Dr. Badran Abu Inain Badran : “Faqad ajm‟a fuqahaausy syari‟ati „ala annal walada fi bathni ummihi mim bainil mustahiqqiina lil irtsi mata qaama bihi sababun min asbaabil irtsi” (Telah sepakat para ulama bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya termasuk orang yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat salah satu sebab dari-sebab kewarisan)[2] Begitu juga  Wahbah Zuhaili menjelaskan : “walau kaana hiinaizin mudhgatan aw „alaqatan tsabata lahul haqqu fil miiraatsi (Jika ahli waris masih dalam bentuk mudhghah(segumpal daging) atau alaqah (segumpal darah) maka hak kewarisannya tetap ada).[3]


Perlu diketahui, anak  dalam kandungan sebagai ahli waris disebut juga dalam ilmu ushul fiqh ahliyatul wujub yang tidak sempurna, ia pantas menerima hak namun belum mampu memenuhi kewajiban[4]
Oleh karena anak dalam kandungan itu dinyatakan orang yang pantas menerima hak, maka ia ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila padanya terpenuhi rukun dan syarat kewarisan. Rukun Kewarisan adalah pewaris, ahli waris, harta warisan, sedangkan syarat kewarisan  adalah meninggalnya pewaris, hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal, dan tidak terdapat penghalang kewarisan (sep. membunuh pewaris, murtad dan budak).


Terhadap anak dalam kandungan sebagai ahli waris terdapat dua keraguan dalam tekhnis pembagian hak warisannya yaitu maujud (ada)-nya dan hidupnya dia ketika pewaris meninggal ditambah kesamaran kondisi anak dalam kandungan apakah laki-laki atau perempuan, tunggal atau kembar. Oleh karena keraguan itu, para ulama  klasik  memelihara hak anak dalam kandungan itu dengan memauqufkan (menunda) pembagian harta warisan sampai anak itu lahir atau membagi kepada ahli waris lain dengan memberikan kemungkinan asumsi jumlah terbesar yang diterima anak dalam kandungan itu.


Dari huraian di atas Penulis berkesimpulan bahawa dalam fiqh Islam  anak dalam kandungan adalah ahli waris.


Kesimpulan

Bahawa dalam  Fiqh Islam anak dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak menerima warisan jika padanya terdapat sebab-sebab kewarisan (perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak).Bahwa demi kepentingan anak dan keadilan masyarakat, jalan sebaiknya yang ditempuh Pengadilan Agama (hakim) adalah : segera menyelesaikan perkara pembagian harta warisan dengan memperhitungkan hak waris anak dalam kandungan, jika ada perkara pembagian warisan yang kemungkinan ahli warisnya anak dalam kandungan. Jika ada masalah dengan kesamaran tentang kondisi anak, pendapat saksi ahli (dokter kandungan) dapat didengar dan diajadikan pertimbangan.

[1] Ibnu Qudamah, Al Mughni, (Mathba’ah al Qahirah, Mesir, 1969) h. 384-385. Lihat Juga Ibnu Hazm, Al Muhalla, (Mathba’ah al Jumhuriyyah, Mesir, 1970) h. 410
[2] Badran Abu Inain Badran, Al Mawarits wal Washiyat wal Hibah fi Syariatil Islamiyah wal Qanun, (Syabab Al amiah, Iskandariyah, tt) h. 89
[3] Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillatuh, (Dar Fikr, Mesir tt) h. 254
[4] Amir Syarifuddin,  Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, (IAIN-IB Press, Padang, 1999, h.1

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...